Cek Midi dengan salah satu manuskrip koleksinya. [Agus Setyadi/detikcom] |
Pria berkacamata itu dengan lembut membersihkan setiap halaman sebuah kitab kuno beraksara Arab-Jawi. Dengan mengenakan kuas ukuran kecil, tangan lelaki tersebut dengan sangat teliti menyapu lembaran-lembaran kitab yang warnanya mulai usang dimakan usia. Pada beberapa bagian kitab, terlihat ada yang sudah dimakan rayap.
Sore itu, beberapa kitab yang sudah berusia sekitar 300 hingga 400 tahun “dipamerkan” di atas dua meja di ruang tamu. Tak ada rak khusus di sana untuk menyimpan ratusan judul kitab kuno layaknya sebuah museum. Aneka kitab hasil tulisan tangan (manuskrip) itu hanya disimpan dalam sebuah lemari di suatu ruangan di rumah yang terletak di kawasan Ie Masen Kayee Adang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh.
Sore itu, beberapa kitab yang sudah berusia sekitar 300 hingga 400 tahun “dipamerkan” di atas dua meja di ruang tamu. Tak ada rak khusus di sana untuk menyimpan ratusan judul kitab kuno layaknya sebuah museum. Aneka kitab hasil tulisan tangan (manuskrip) itu hanya disimpan dalam sebuah lemari di suatu ruangan di rumah yang terletak di kawasan Ie Masen Kayee Adang, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, Aceh.
“Saya terinspirasi untuk mengoleksi manuskrip kuno ini dari Malaysia dan Brunei Darussalam. Di museum di sana sebagian besar manuskrip yang dipajang berasal dari Aceh,” kata pria yang akrab disapa Cek Midi ini saat ditemui di rumahnya, Rabu (15/4/2015) sore.Ratusan manuskrip itu adalah koleksi Tarmizi A Hamid. Lelaki kelahiran Pidie 47 tahun silam tersebut sudah mengoleksi 482 naskah kuno sejak 1995 lalu. Tarmizi mulai tertarik untuk menyelamatkan kitab tulisan tangan ini usai lawatannya ke Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.
Saat awal menjadi kolektor diusianya yang baru 28 tahun, Cek Midi yang sehari-hari bekarja di Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Aceh hanya punya 10 koleksi. Di antaranya tentang tasawuf (sufi), tajul muluk, dan kitab-kitab yang membahas tentang pengobatan. Karena keinginannya untuk memajukan budaya dan melestarikan manuskrip, Cek Midi kemudian mulai berburu naskah kuno dari masyarakat dibeberapa kabupaten di Aceh sejak 20 tahun silam.
Bukan hanya di provinsi berjuluk Serambi Mekkah, Cek Midi juga berburu naskah kuno hingga ke Provinsi Riau dan Padang, Sumatera Barat. Manuskrip pertama yang diperoleh Cek Midi yaitu Sir al Salikin, karangan Syeikh Abdul Samad Palembani yang didapat dari seorang warga di Kecamatan Jeunieb, Bireuen, Aceh.
“Manuskrip ini rata-rata ditulis pada abad ke 16 hingga 17 masehi pada masa Sultan Iskandar Muda,” jelas Cek Midi.
Meski sudah berusia 400 tahun lebih, tinta tulisan-tulisan di naskah kuno ini tak ada yang luntur. Kertas yang digunakan pun masih utuh meski ada beberapa bagian yang sudah dimakan rayap. Jika diperhatikan sekilas, naskah-naskah koleksi Cek Midi ini seperti belum lama ditulis.
Meski sudah berusia 400 tahun lebih, tinta tulisan-tulisan di naskah kuno ini tak ada yang luntur. Kertas yang digunakan pun masih utuh meski ada beberapa bagian yang sudah dimakan rayap. Jika diperhatikan sekilas, naskah-naskah koleksi Cek Midi ini seperti belum lama ditulis.
Menurut Tarmizi, kertas yang digunakan untuk menulis manuskrip baik berupa mushaf hingga kitab-kitab ini dipesan khusus oleh Sultan Iskandar Muda dari beberapa negara di Eropa. Hal itu terlihat dari setiap lembaran naskah yang sudah memiliki watermark. Cap watermark akan terlihat jelas saat kertas diterawang pada sinar lampu atau matahari. Umumnya naskah kuno itu menggunakan watermark berupa burung, mahkota, dan bulan sabit tiga.
“Kertas yang digunakan sudah ada watermark dan kalau dilihat dari watermark kertas ini dari Eropa seperti Italia,” ungkap Cek Midi.
Hingga kini Cek Midi sudah mengoleksi ratusan judul manuskrip di antaranya tentang mushaf Al-quran, tasawuf (sufi), agama, astronomi, psikologi, sejarah, tauhid, hukum Islam (fiqh), termasuk ilmu perbintangan, ilmu falaq, dan tajul muluk.
Sumber: detikcom